I.
Defenisi Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata “Agama” berasal dari bahasa
Sanskerta, Agama yang berarti “tradisi”. Sedangkan kata lain untuk menyatakan
konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar
pada kata kerja re-ligare yang berarti “Mengikat Kembali”. Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Emile Durkheim mengatakan bahwa
agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama
semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas
beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya
II.
Macam - Macam Agama
A. Agama
Islam
Islam
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan
85% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat
dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera .Sedangkan di
wilayah timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat.
Sekitar 98% Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni Sisanya, sekitar
dua juta pengikut adalah Syiah(di atas satu persen), berada di Aceh.
Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman
dan kesempurnaan tersebut kedalam kultur. Pada abad ke-12, sebagian besar
pedagang orang Islam dari India tiba di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya,
mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam. Dalam
jumlah yang lebih kecil, banyak penganut Hindu yang berpindah ke Bali, sebagian
Jawa dan Sumatera. Dalam beberapa kasus, ajaran Islam di Indonesia dipraktikkan
dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam daerah Timur Tengah
Ada pula sekelompok pemeluk Ahmadiyah yang kehadirannya belakangan ini sering
dipertanyakan. Aliran ini telah hadir di Indonesia sejak 1925. Pada 9 Juni
2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis
melarang Ahmadiyah melakukan aktivitasnya ke luar. Dalam surat keputusan itu
dinyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya.
B. Kristen
Protestan
Kristen
Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada
sekitar abad ke- 16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses
berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini
berkembang dengan sangat pesat pada abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan
para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah
barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi
perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang
yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh
sebagai warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu
pertumbuhan anggota.Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di
beberapa wilayah. Sebagai contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah
Protestan, terutama di Tana Toraja, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, Sekitar
75% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. dibeberapa wilayah, keseluruhan
desa atau kampung memiliki sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini,
tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.Di Indonesia, terdapat
tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua,
Ambon,dan Sulawesi Utara dengan 90%,91%,94% dari jumlah penduduk. Di Papua,
ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli.Di Ambon,
ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar. Di Sulawesi Utara,
kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-18. Saat ini,
kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi Utara menjalankan beberapa aliran
Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang
beragama Islam juga mulai berdatangan. Sepuluh persen lebih-kurang; dari jumlah
penduduk Indonesia adalah penganut Kristen Protestan.
C. Hindu
Kebudayaan
dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya
dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan
Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil
Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan
ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode
ini, dikenal sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan selama 16 abad penuh.
Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia.Sebagai contoh, Hindu
di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah
menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu
Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan
Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang
dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah
terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa, yang jadilah lebih
dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan
atau Islam Kejawen. Semua praktisi agama
Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah
Lima Filosofi: Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa
Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan
akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran
kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali
yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih
memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.
Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2006 adalah 6,5
juta orang), sekitar 1,8% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor empat
terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia,
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI memberi suatu perkiraan bahwa ada
18 juta orang penganut Hindu di Indonesia. Sekitar 93 % penganut Hindu berada
di Bali. Selain Bali juga terdapat di Sumatera, Jawa, Lombok, dan pulau
Kalimantan yang juga memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di Kalimantan
Tengah, sekitar 15,8 % (sebagian besarnya adalah Hindu Kaharingan, agama lokal
Kalimantan yang digabungkan ke dalam agama Hindu).
D. Buddha
Buddha
merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam
masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu,
sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti
kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan agama Buddha telah
dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui
Jalur Sutra antara India dan Indonesia. Sejumlah warisan dapat ditemukan di
Indonesia, mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari
sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal. Mengikuti
kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan
lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri
Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan
bahwa ada satu dewata tertinggi, Sang Hyang Adi Buddha. Hal ini didukung dengan
sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau menurut teks Jawa
kuno dan bentuk candi Borobudur. Menurut sensus
nasional tahun 2000, kurang lebih dari 2% dari total penduduk Indonesia
beragama Buddha, sekitar 4 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada
di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra Utara dan
Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat agama
konghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia, sehingga
dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha.
E. Kristen
Katolik
Umat
Katolik Perintis di Indonesia: 645 – 1500 Agama Katolik
untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di
Sumatera Utara. Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr. Sucipto
Wirjosuprapto. Untuk mengerti fakta ini perlulah penelitian dan rentetan berita
dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas.
Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah
Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita-berita tentang
Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya”.
yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di
Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia.
Dengan terus dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat
mengambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini
terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatera Utara adalah tempat kediaman
umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja
dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria.
F. Konghuchu
Agama
Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa
dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di
kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih
menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada
kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir
dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial. Di era 1900-an, pemeluk
Konghucu membentuk suatu organisasi, disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di
Batavia (sekarang Jakarta). Setelah kemerdekaan
Indonesia di tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh beberapa
huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada
1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965
1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah
Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI),
suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu
agama dan Confucius adalah nabi mereka.
III.
Toleransi Beragama dalam Kehidupan
Toleransi adalah
perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dengan sesama.
Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan agama. Namun,
konsep toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan jenis kelamin,
anakanak dengan gangguan fisik maupun intelektual dan perbedaan lainnya.
Toleransi juga berarti
menghormati dan belajar dari orang lain, menghargai perbedaan, menjembatani
kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak adil, sehingga tercapai
kesamaan sikap dan Toleransi juga adalah istilah dalam konteks sosial, budaya
dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana
penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama
lainnya.Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok”
yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain
Ada
tiga macam sikap toleransi, yaitu:
a. Negatif
: Isi ajaran dan penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan penganutnya hanya
dibiarkan saja karena dalam keadaan terpaksa. Contoh : PKI atau orang-orang
yang beraliran komunis di Indonesia pada zaman Indonesia baru merdeka.
b. Positif
: Isi ajaran ditolak, tetapi penganutnya diterima serta dihargai. Contoh : Anda
beragama Islam wajib hukumnya menolak ajaran agama lain didasari oleh keyakinan
pada ajaran agama Anda, tetapi penganutnya atau manusianya Anda hargai.
c. Ekumenis
: Isi ajaran serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka itu
terdapat unsur-unsur kebenaran yang berguna untuk memperdalam pendirian dan
kepercayaan sendiri. Contoh : Anda
dengan teman Anda sama-sama beragama Islam atau Kristen tetapi berbeda aliran
atau paham.
IV.
Masalah – Masalah yg Bekaitan dengan SARA
Wacana seputar
kehidupan beragama beserta permasalahan yang selalu mengitarinya, dalam hal ini
adalah masalah seputar pluralitas agama, merupakan permasalahan yang tidak
dapat basi. Hal ini dikarenakan, masalah tersebut akan selalu ada selama masih
ada manusia. Selain itu, masalah atau topik ini akan selalu aktual dan menarik
untuk dikaji bagi siapa pun yang mencita-citakan terwujudnya perdamaian di bumi
ini.
Menyajikan wacana
seputar pluralitas agama dan kerukunan umat beragama. Hal ini ditandai dengan
penyajian materi yang cenderung merupakan sosialisasi gagasan seputar
pluralitas dan inklusivitas keagamaan ditengah-tengah masyarakat. Hal ini
tentunya dilakukan guna membina dan melestarikan kehidupan beragama yang damai,
saling toleransi, saling menghormati dan saling menghargai.
Tidak hanya itu,
keberadaan buku ini setidaknya dapat memperkaya dan memperluas wacana
pluralitas agama dan kerukunan antarumat beragama. Pemfokusan pada wacana ini,
selain sebagai sarana dialog tertulis, tentunya juga dapat menjadi sarana
sosialisasi seputar gagasan pluralitas dan inklusivitas keagamaan ditengah
kehidupan masyarakat. Selain itu, kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi
penyejuk bagi hubungan antar umat beragama yang beberapa waktu terakhir
mengalami gangguan bersamaan dengan terkoyaknya kehidupan sosial-politik dan
ekonomi di bangsa ini.
Adapun hal-hal yang
melatarbelakangi ditulisnya ini atau hal-hal yang menjadi alasan bahwa tema
pluralitas dan kerukunan umat beragama menjadi hal yang menarik untuk dikaji
adalah :
Perlunya sosialisasi
bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan
perdamaian dalam kehidupan umat manusia.
Wacana agama yang
menghargai pluralitas, toleran dan inklusif. Hal ini bertujuan untuk
menciptakan kehidupan yang penuh kasih sayang antar sesama manusia.
Adanya kesenjangan
antara cita-cita ideal agama-agama dengan realitas empirik kehidupan umat
beragama di masyarakat.
Semakin menguatnya
kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi pada sebagian masyarakat, yangmana
nantinya hal ini dapat memicu terjadinya konflik dan permusuhan bernuansa SARA
(agama).
Perlunya mencari
berbagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan
perdamaian antar umat beragama.
Secara khusus, ini
membahas seputar ide-ide tentang perdamaian dan kerukunan antar umat beragama,
apapun agama itu. Selain itu, masalah seputar konflik-konflik yang berlabel
agama dan masalah seputar dialog antar umat beragama turut menjadi perhatian
utama dalam ini.
Yang berisi
tulisan-tulisan terpilih harian Kompas sejak tahun 1996 hingga tahun 2000 ini
terbagi menjadi empat (4) bagian. Yaitu :
Pada bagian
pertama, ini membahas tentang semangat
pluralitas, toleransi dan inklusivitas dalam agama-agama. Di bagian ini,
diutarakan bahwa pluralitas merupakan sebuah keniscayaan atau kepastian yang
harus diterima secara positif dan dengan lapang dada. Terutama pada di negara
demokrasi yang majemuk seperti Indonesia. Sehingga, diperlukan semangat
nilai-nilai pancasila, seperti toleransi, rekonsiliasi (permufakatan),
kesediaan untuk berdialog, kerja sama dan sikap inklusif serta pembangunan
wacana yang tepat. Hal ini dilakukan agar perbedaan-perbedaan atau
keanekaragaman ini menjadi sesuatu yang positif.
Pada bagian kedua, buku
ini memberi kajian singkat seputar agama dan konflik dalam konteks
sosial-politik, khususnya yang terjadi di Indonesia. Terutama terkait keadaan
Indonesia yang dipenuhi oleh keanekaragaman. Adapun hal-hal yang ingin dijawab
melalui bagian ini adalah penyebab konflik antar umat beragama (faktor agama
ataukah faktor-faktor lainnya, seperti sosial, politik dan ekonomi), upaya yang
dapat dilakukan untuk meminimalisasi konflik antar umat beragama, dan kebijakan
pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama) untuk membangun kerukunan umat
beragama.
Pada bagian
ketiga, ini mengulas seputar dialog
antar umat beragama yang dikaitkan dengan cita-cita perdamaian yang diajarkan
oleh semua agama. Dialog disini masih dipandang sebagai satu-satunya solusi
bila terjadi pertentangan atau konflik. Adapun masalah-masalah yang ingin
dipecahkan dalam bab ini adalah, bagaimana model-model dialog antar umat
beragama, kendala yang dihadapi dalam dialog antar umat beragama, siapa saja
yang harus dilibatkan dalam dialog antar umat beragama, dan upaya yang harus
dilakukan agar dialog tidak sekedar seremonial serta mampu memberi pengaruh
yang efektif.
Pada bagian keempat,
ini membahas nilai-nilai kerukunan dalam doktrin agama-agama. Adapun hal-hal
yang diulas yaitu, ajaran agama-agama yang menegaskan pentingnya kerukunan
antar umat beragama dan semangat nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut
setidaknya dapat dikaji dari ajaran ibadah dan hari raya keagamaan, khususnya
perspektif Islam dan kristen.
Berdasarkan uraian
singkat diatas, ini setidaknya dapat
menjadi sarana diskusi dan dialog yang baik. Terutama terkait hal-hal seperti
pluralitas, inklusivitas, toleransi, konflik, dialog dan kerukunan antar umat
beragama. Atau bahkan, buku ini dapat dijadikan referensi utama dalam upaya
mewujudkan kerukunan dan kedamaian dalam hubungan antar umat beragama.
V.
Contoh Peristiwa
Konflik
di maluku
Pasca transisi politik
1998, Maluku mengalami pemekaran. Lewat Undang-undang Nomor 46 tahun 1999,
provinsi Maluku Utara (Malut) resmi berdiri pada 12 Oktober 1999. Malut lalu
dibagi ke dalam kabupaten/kota seperti: (1) Halmahera Barat, ibukota Jailolo;
(2) Halmahera Tengah, ibukota Weda; (3) Kepulauan Sula, ibukota Sanana; (4)
Halmahera Selatan, ibukota Labuha; (5) Halmahera Utara, ibukota Tobelo; (6)
Halmahera Timur, ibukota Maba; (7) Ternate, ibukota Ternate; dan (8) Tidore
Kepulauan, ibukota Soasiu. Sementara itu, Maluku terdiri atas sebelas
kabupaten/kota, yaitu: (1) Kota Ambon; (2) Kota Tual; (3) Maluku Tengah,
ibukota Masohi; (4) Maluku Tenggara, ibukota Langgur ; (5) Maluku Tenggara
Barat, ibukota Saumlaki; (6) Aru, ibukota Dobo; (7) Buru, ibukota Namlea; (8)
Seram Barat, ibukota Piru; (9) Seram Timur, ibukota Bula; (10) Maluku Barat
Daya, ibukota Wonreli; (11) Buru Selatan, ibukota Namrole.
Deskripsi Konflik. Fase
awal erupsi konflik Maluku (Ambon) pecah 19 Januari 1999 setelah dipicu
perkelahian supir bus beretnis Ambon beragama Kristen dengan penumpang beretnis
Bugis beragama Islam. Konflik semakin intensif pada Juli 1999 dan ekstensif ke
bagian-bagian provinsi Maluku lainnya hingga Januari 2000. Mulai saat itu,
praktis Ambon terbelah menjadi zona-zona yang digarisi anutan agama. Pada Mei
2000, konflik Ambon memasuki babak baru lewat dua perkembangan. Pertama,
keterlibatan kekuatan bersenjata ke dalam kedua kelompok. Kedua, masuknya
Lasykar Jihad dari Jawa yang berniat membantu saudara Muslimnya yang tertekan
dalam konflik. Dengan ini, konflik Ambon bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata
di mana peralatan amatir seperti bom-bom rakitan dan senjata buatan digantikan
dengan persenjataan profesional. Pihak Muslim yang awalnya defensif kini
ofensif. Akibatnya, pada Juni 2000 Maluku dimasukkan ke dalam Darurat Sipil.
Ribuan tentara dan Brimob diturunkan ke provinsi ini guna mengatasi konflik.
Lewat perjanjian damai
Malino II Pebruari 2002, pihak-pihak yang bertikai sepakat menjalin perdamaian.
Kendati demikian, erupsi-erupsi kecil tetap saja terjadi, terutama di Ambon.
Misalnya, pada April 2004 saat empat puluh orang meninggal dalam kerusuhan
mengiringi penaikan bendera RMS di kediaman Alex Manuputty (pemimpin Front
Kedaulatan Maluku). Namun, hal yang cukup melegakan adalah, erupsi-erupsi yang
muncul pasca perjanjian damai Malino II tidak bereskalasi sebanding erupsi
sebelum Deklarasi.
Di provinsi Maluku
Utara (Malut), durasi konflik utama relatif lebih singkat ketimbang Maluku.
Erupsi-erupsi konflik terutama mengiringi pemisahan Malut dari Maluku menjadi
provinsi mandiri. Konflik di Malut dibayangi rivalitas lama antara Kesultanan
Ternate dengan Tidore. Awalnya, pada bulan Agustus 1999 konflik terbatas muncul
di daerah Kao antara penduduk lokal dengan pemukim Makian. Pokok konflik
berkisar pada kendali atas Malifut, kecamatan yang baru terbentuk. Lewat
intervensi Sultan Ternate, konflik segera padam. Namun, saat provinsi Malut
resmi terbentuk pada Oktober 1999 konflik kembali mencuat. Konflik yang
belakangan ini juga lalu menyebar ke Ternate dan bagian lain provinsi baru.
Sama seperti di Ambon, erupsi-erupsi konflik Malut pun secara umum seolah
bernuansa agama dan etnis, kendati khusus di Malifut, konflik lebih banyak
bernuansa etnis ketimbang agama.
Akibat gencarnya perang
provokasi lewat aneka selebaran, pamflet, dan propaganda kedua kelompok,
aliansi para elit di sekitar rival politik Sultan Ternate membentuk Tentara
Putih, yang berdiri di sisi kelompok Muslim. Mereka berhasil mendesak kelompok
Kristen ke utara Ternate, lalu menyeberang ke Sulawesi Utara. Di Ternate,
kelompok Kristen meminta suaka kepada Sultan Ternate yang hasilnya terbentuklah
Tentara Kuning yang sifatnya lintas agama. Tentara Putih dikomposisikan
kelompok-kelompok etnis asal Tidore, Makian, dan kaum migran dari Gorontalo.
Tentara Kuning dikomposisikan para pendukung Sultan Ternate, elemen pendukung
Golongan Karya, dan kalangan Kristen dari Halmahera yang secara tradisional
adalah aliansi politik Sultan Ternate. Pertempuran kedua kelompok tentara pecah
pada Desember 1999.
Setelah konflik
berlarut, muncul isu bahwa pasukan jihad akan tiba di Galela (Halmahera),
wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim. Menurut isu yang lalu muncul
mengiringi, pasukan ini akan membela warga Muslim yang tertekan di Tobelo.
Akibatnya, pada bulan Desember 1999, pejuang kelompok Kristen mengalir dari Kao
ke Tobelo dan menyerang kaum Muslim di sana. Di hari kemudian, kekerasan
meledak di Galela, menyebar hingga Bacan, Obi, dan Morotai, Ibu, Sahu, dan
Jailolo. Di Halmahera Selatan, kekerasan pecah Mei 2000 kala pasukan jihad
(lokal, Ternate, Tidore) mengalami bentrokan di perkampungan Kristen. Akhirnya
pada Juni 2000 Malut diberlakukan sebagai Darurat Sipil. Tentara tambahan dari
pemerintah pun masuk ke provinsi baru ini. Hal yang melegakan adalah, konflik
berhasil dilokalisir dan Malut relatif berangsur tenang sejak pemerintah dan
para tokoh masyarakat terlibat proaktif mencari resolusi konflik..
Penyebab Konflik.
Penyebab konflik di Maluku dan Maluku Utara dibagi menjadi tiga, seperti
termuat dalam bagan. Pertama, sebab-sebab struktural yang terdiri atas
melemahnya struktur kekuasaan tradisional, ketimpangan horisontal, dan dampak
kekuasaan otoritarian Orde Baru. Kedua, sebab-sebab langsung yang terdiri atas
krisis ekonomi dan proses desentralisasi serta demokratisasi. Ketiga, sebab-sebab
pemicu atau trigger, yang terdiri atas perseteruan politik lokal dan aktivitas
gang-gang kriminal (di Ambon) serta selebaran dan pampflet gelap (di Malut).
Anatomi Konflik di Maluku dan Malut
Sebab-sebab Struktural.
Struktur kekuasaan tradisional di Maluku (Ambon) misalnya pela-gandong dan
sasi. Pela-gandong adalah sumpah yang memungkinkan dua desa di Ambon untuk
saling membantu. Dengan pela-gandong, penduduk kedua desa menggunakan Ambon
sebagai sebagai atribut utama hubungan sosial. Sejak 1974, sistem kekuasaan
tradisional di Ambon memudar seiring diberlakukannya undang-undang pemerintah
pusat yang mengatur tentang desa. Lurah (kepala desa) menggantikan posisi
negeri sebagai entitas geografis dan raja sebagai kepalanya. Pemberlakuan tata
admnistrasi pemerintahan baru ini juga mengubah kohesi sosial masyarakat Ambon,
yang perubahannya telah beroperasi sejak dua dekade sebelum erupsi kekerasan.
Kekosongan kohesi sosial tradisional ini dengan mudah diisi ideologi nasional
Indonesia (Pancasila) yang bersaing dengan akselerasi Kristenisasi dan
Islamisasi di kalangan masyarakat Maluku. Masalah agama lalu menjadi ideologis
sehingga mampu membelah masyarakatnya.
Di Maluku Utara,
konflik cenderung sepi dan hubungan antar kelompok relatif baik karena di
wilayah ini lembaga adat masih kuat mengkohesi masyarakat. Kohesi tradisional
ini tercermin pada masih diakuinya aliansi-aliansi politik tradisional. Sultan
Tidore memiliki aliansi dan demikian pula Sultan Ternate. Bahkan, di Halmahera
Timur (kecamatan Maba Selatan), sejumlah desa Kristen justru dilindungi oleh
kelompok Muslim, dan diketahui bahwa wilayah tersebut banyak dihuni penduduk
asli yang setia kepada Sultan Tidore. Ketika konflik muncul, kesepakatan damai
dapat segera dibuat lewat intervensi para kepala desa dan pemimpin adat lokal
dari pihak yang bertikai.
Ketimpangan ekonomi
juga merupakan sebab struktural, yang kendati sifatnya tidak langsung, memberi
sumbangan besar kepada erupsi konflik. Sejak era Belanda, kalangan Kristen
Ambon menikmati privilese sosial, ekonomi dan politik. Perimbangan privilese
ini terus bertahan hingga saat Suharto kehilangan dukungan sebagian perwira
militer di tingkat pusat. Untuk mengisi kekosongan dukungan, Soeharto mencari
gantinya pada kelompok Islam (modernis) dalam ICMI. Bukti yang paling
meyakinkan adalah diangkatnya Habibie sebagai wakil presiden sejak 1993.
Perubahan pola
kekuasaan neopatrimonial tingkat pusat, posisi pimpinan daerah menjadi sangat
penting mengingat distribusi kekayaan daerah banyak yang masuk ke tingkat
kabupaten/kota. Dalam proses distribusi di daerah, peran gubernur menjadi
signifikan. Di Maluku, pergeseran elit – dan kemudian distribusi sumber daya
daerah – diindikasikan dengan diangkatnya Aqib Latuconsina sebagai gubernur
Ambon. Figur Aqib dianggap merepresentasikan kalangan Muslim dan sipil. Lewat
pengaruh Aqib, maka pada tahun 1996 seluruh bupati di Maluku berasal dari
kalangan Muslim: Bahkan di wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama
Kristen.
Kalangan Kristen di
Maluku melihat status quo keuntungan ekonomi mereka menjadi labil. Mereka juga
mempersepsikan banyak keuntungan ekonomi yang selama ini dinikmati akan jatuh
kepada kelompok migran Muslim dari Sulawesi dan Jawa. Namun, pembalikan posisi
ekonomi tidaklah revolutif melainkan berangsur-angsur, dan sesungguhnya telah
jauh berlangsung sebelum Aqib menjadi Gubernur Maluku. Misalnya, disparitas
pendidikan antar kelompok di Maluku yang pada 1991 berada di atas level 1,8
berubah menjadi di bawah 1,3 dan terus bertahan hingga 1997. Disparitas
perumahan, yang berada di posisi 1,6 pada 1991, berubah menjadi di bawah 1,2
pada 1994 dan sedikit di bawah 1,1, pada 1997. Kalangan Kristen di Ambon pun
cukup menerima karena peningkatan tersebut merupakan bukti keberhasilan ekonomi
daerah secara keseluruhan.
Namun, terdapat
lonjakan dalam hal velocity (kecepatan) proses pembalikan keberuntungan ekonomi
yang momentumnya berbarengan dengan peralihan politik di tingkat pusat: Dari
kalangan sekular kepada kelompok Islam. Munculnya perimbangan baru level
politik nasional berimbas pada tergesernya posisi kelompok Kristen di Ambon –
yang awalnya dominan – menjadi setara. Hal ini memancing kegelisahan sosial dan
ekonomi, terlebih kelompok Kristen memandang ketidakpastian status mereka di
masa mendatang akibat kepemimpinan Aqib Latuconsina yang mereka anggap
imbalance.
Situasi agak berbeda
terjadi di Malut, di mana komposisi kelompok Islam meliputi 85% total populasi,
sementara sisanya sebagian besar Protestan. Selain itu, sama seperti Maluku, di
Malut juga banyak etnis-etnis migran seperti Jawa, Buton, Minang, Bugis,
Gorontalo, dan Sunda. Tahun 1970 terjadi relokasi suku Makian (kebetulan
beragama Islam) ke lokasi pemukiman suku Kao (kebetulan beragama Kristen)
akibat aktivitas gunung berapi di Pulau Makian. Relokasi ini memunculkan
kecurigaan di kalangan suku Kao bahwa terdapat agenda rahasia Islam –
Islamisasi – di wilayah Kao. Kecurigaan ini semakin mengental sejak Soeharto
mengalihkan dukungan politik kepada kelompok Islam modernis (dan setelah itu,
rezimis menurut Robert W. Heffner). Ketegangan antar suku menguat kala
pemerintah – tanpa rembug dengan wakil-wakil suku – membentuk kecamatan baru,
Malifut. Kecamatan tersebut dimaksudkan untuk dihuni para migran dari suku
Makian yang sebelumnya tinggal di pemukiman Kao. Hal ini dipandang suku Kao
sebagai pengistimewaan atas suku Makian yang Muslim di mata pemerintah.
Kekecewaan menjadi wajar karena wilayah yang digunakan untuk kecamatan Malifut
adalah lima desa yang secara adat dibawah kekuasaan suku Kao. Selain itu,
pembentukan kecamatan baru tersebut dianggap akan menghambat akses suku Kao ke
arah selatan, ke arah saudara Kristiani mereka.
Sebab struktural
terakhir adalah dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru. Selama Orde Baru,
pemerintah selalu menunjuk kalangan Kristen dan Muslim dari Jawa untuk menjadi
pimpinan politik di Maluku. Kondisi ini memunculkan keuntungan relatif kalangan
Kristen di Maluku, sekaligus ketidakberuntungan relatif kalangan Islamnya.
Kepemimpinan politik lokal di Maluku pun mengikuti garis neopatrimonial dari
Jakarta. Dengan kecepatan tinggi perimbangan ini berubah, saat sejumlah perwira
tinggi ABRI (dikenal sebagai ABRI merah-putih) mulai kritis terhadap Soeharto
(terutama perilaku bisnis anak-anaknya). Untuk itu, Soeharto menjadi dukungan
pengganti dengan merangkul Muslim modernis yang diwaliki kelompok ICMI. Di
kalangan Angkatan Bersenjata, Soeharto mengimbangi kekuatan ABRI merah-putih
dengan mendekati ABRI hijau (ABRI yang santri atau dekat dengan kalangan
Islam). Ini adalah kebiasaan Soeharto yang baru untuk mengimbangi dan memecah
kelompok-kelompok yang kritis kepadanya.
Hal yang kurang
disadari Soeharto adalah dampak dari peralihan politik istana ini di daerah.
Hubungan neopatrimonial dan sentralisasi kekuasaan, membuat apapun yang terjadi
di pusat lekas terasa efeknya di daerah. Terjadi revolusi politik di Maluku.
Gubernur yang biasanya dijabat kalangan militer dan beragama Kristen digantikan
dengan yang Muslim dan non-militer. Kelompok Islam menganggap peralihan politik
istana sebagai kesempatan mereka menciptakan perimbangan baru atas keuntungan
relatif di Maluku. Kalangan Kristen berada dalam posisi yang defensif dan
galau. Sebuah kondisi matang untuk erupsi konflik telah tercipta.
Di Maluku Utara kondisi
sedikit berbeda. Sultan Ternate Muddafar Sjah (kebetulan anggota DPR dari
Golkar) mengkombinasikan kuasa politik formal dan informal. Ternate berhasil
menjaga kelestarian kesultanan turun-temurun. Konflik Malifut pun tidak lepas
dari intervensi sultan. Di Malifut, terdapat tambang emas yang digarap oleh
perusahaan Australia, New Crest Mining. Dengan terbentuknya Malifut, akan
terjadi perubahaan tata-kelola distribusi keuntungan dari tambang tersebut.
Inilah katalisator kuat pemicu konflik di kalangan Makian dan Kao, dan lebih
jauh antara elit-elit politiknya.
Rival politik Sultan
Ternate adalah Bahar Andili, birokrat keturunan Gorontalo dan Makian. Bahar
Andili punya dukungan kuat dari PPP (partai berbasis Islam) dan oleh kelompok
Makian dianggap representasi Islam di dalam politik. Mereka memandang Sultan
Ternate lebih condong pada kelompok Kristen, karena aliansi adat
tradisionalnya. Dukungan atas Bahar Andili juga berasal dari Tidore, Makian,
Bacan, dan Kayoa yang diantaranya sama-sama memiliki kisah masa lalu atas
Ternate. Dukungan pada Sultan Ternate, selain Golkar, juga datang dari sebagian
besar penduduk Islam dan Kristen di Halmahera Utara. Kegagalan Sultan Ternate
dalam meresolusi konflik Malifut diantaranya muncul akibat pandangan orang
Makian bahwa sultan lebih pro kelompok Kao.
Ketimpangan sosial di
Maluku Utara sekaligus ada baik dalam pola tradisional maupun migran. Sultan
mewakili kalangan tradisional yang lintas sekat keagamaan, sementara kalangan
migran Muslim berkumpul di kelompok Bahar Andili. Aliansi sultan terkemuka
dalam pembentukan tentara kuning yang bercorak lintas agama, sementara aliansi
Bahar Andili tercermin dalam tentara putih yang menggunakan simbol-simbol
Islam.
Krisis ekonomi
merupakan fenomena umum di Indonesia secara keseluruhan. Pada umumnya, dampak
langsung krisis ekonomi kurang terasa baik di Maluku maupun Malut. Memang
terjadi penurunan GDP Maluku sebesar 6% dalam periode 1997 – 1998. Namun,
penurunan ini terjadi lintas agama dan aneka etnis yang ada di Maluku. Krisis
ekonomi, kendati harus dilakukan studi lebih lanjut, dipandang sebagai penguat
kompetisi sumber daya ekonomi antar kelompok-kelompok yang bertikai di Maluku.
Desentralisasi dan
demokratisasi, punya pengaruh kuat atas erupsi konflik baik di Maluku maupun
Malut. Di Maluku, desentralisasi dan demokratisasi mendorong munculnya
ketidakpastian di kalangan status quo Maluku. Desentralisasi berakibat pada
makin signifikannya peran kekuatan kelompok daerah (politik lokal) dalam
mengontrol sumber-sumber daya alam Maluku. Demokratisasi memungkinkan penduduk
daerah sendiri yang menentukan kepada siapa kontrol daerah akan diberikan, yang
terutama diberikan kepada elit-elit asli di dalam daerah. Desentralisasi dan
demokratisasi mendorong menguatnya mobilisasi massa mengikuti garis agama dan
suku.
Di Malut, tambang emas
di Malifut adalah bukti kuatnya faktor desentralisasi politik dalam konteks
nasional atas konflik. Pembentukan kecamatan Malifut dipandang sebagai upaya
salah satu kelompok (Makian) di daerah untuk memonopoli trickle-down-effect
tambang emas yang dikelola New Crest Mining asal Australia. Pembentukan Malifut
untuk Makian tidak diiringi pemberian kesempatan serupa bagi niat kelompok Kao
untuk membentuk distrik sendiri. Kecemburuan dan kesan pengistimewaan suku
mengentara dalam kasus Malifut, terutama dari pandangan Suku Kao sebagai
penduduk asli. Bahar Andili selaku orang Makian dan representasi kalangan
migran, dianggap berada di belakang pembentukan Malifut, yang lalu mendorong
Sultan Ternate melibatkan diri ke dalam konflik Malifut.
Trigger atau pemicu
konflik, baik di Maluku ataupun Malut tergolong sama. Di Maluku, konflik
terbilang merembet cukup cepat. Kecepatan ini dipicu oleh kondisioning yang
matang berupa rivalitas yang terjadi antara Aqib Latuconsina (representasi
Muslim Maluku) dengan Freddy Latumahina (representasi Kristen Maluku). Gerry
van Klinken mencatat, kedua saingan tersebut memiliki jaringan klien agama dan
kelompok kriminalnya masing-masing. Keduanya telah pula menyusun
langkah-langkah antisipatif dalam menyikapi insiden antara supir dengan
penumpang di awal episode konflik Ambon ini.
Di Malut, pengaruh
konflik Ambon yang mengkatalisasi konflik ada dalam aras sentimen agama. Namun,
tulis Graham Brown, penyebab utama erupsi adalah peredaran pampflet-pampflet
gelap yang diproyeksikan kepada pimpinan sinode Gereja Protestan Maluku yang
dituduh mengajak perang suci umat Kristen melawan umat Islam. Peran provokator
yang mirip dengan di Ambon dicurigai mengambil peran besar dalam konflik Malut,
dan diyakini berasal dari agen yang sama.
Penyelesaian Konflik.
Deklarasi Perdamaian Malino II merupakan tonggak penting dalam penyelesaian
konflik Maluku dan Malut. Sebelum sampai kepada deklarasi, telah muncul inisiatif
sejumlah kalangan di Maluku dan Malut sendiri untuk mengadakan penghentian
kekerasan dan penciptaan perdamaian.
Perdamaian Malino II
tanggal 12 Pebruari 2002, merupakan upaya gabungan wakil-wakil masyarakat
Maluku dari kelompok Islam dan Kristen, pemerintah pusat (diwakili Jusuf Kalla
dan SBY), serta pemerintah daerah untuk menciptakan perdamaian. Tiga puluh lima
wakil kelompok Islam dan tiga puluh lima wakil kelompok Kristen menandatangani
deklarasi yang draft-nya disusun selama tiga hari di pegunungan sejuk Malino,
Sulawesi Selatan. Bukti kehendak rakyat Maluku untuk damai adalah
berlangsungnya Pemilu 2004 yang hampir tanpa masalah. Pemilu ditujukan untuk
mencari pemimpin yang mampu membangun Maluku, apapun garis etnis dan agamanya.
Demikian pula di Malut, di mana masyarakatnya berhasil menyelenggarakan pilkada
gubernur secara damai pada 28 Oktober 2002 di mana Thaib Armayin dan Madjid
Abdullah terpilih selaku pemimpin daerah Malut.
Nils Bubant menyatakan, aneka
kekerasan yang terjadi di Maluku dan Malut bukanlah disebabkan oleh agama
maupun etnisitas, melainkan proses desentralisasi. Kekuasaan Orde Baru yang
berdurasi lama dan sentralistik membuat daerah kehilangan kemampuan aslinya
dalam mengelola kuasa politik lokal secara mandiri. Dengan desentralisasi,
kohesi politik yang alamiah lambat-laun akan terbentuk dan mampu menjembatani
hubungan etnis dan agama secara lebih harmonis
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment