Unsur – Unsur
Pembentuk Pertumbuhan Masyarakat
I.
Definisi
Proses
pembentukan masyarakat dan perubahan masyarakat menurut Gerhard Lenski, Karl
Marx, Max Weber dan Emile Durkheim mewakili empat sudut
pandang. Gerhard Lenski menjelaskan bagaimana teknologi mengubah
masyarakat sejak 10 ribu tahun yang lalu dan terus berlangsung hingga kini.
Karl Marx menjelaskan bagaimana masyarakat mengalami perubahan akibat konflik
cara produksi ekonomi. Max Weber menjelaskan bagaimana masyarakat terbentuk dan
berubah akibat munculnya gagasan antara masyarakat tradisional (yang dicirikan
kuatnya unsur kekeluargaan) dikontraskan dengan gagasan masyarakat kompleks
(yang dicirikan unsur pemikiran rasional). Emile Durkheim menjelaskan bagaimana
solidaritas sosial yang terbangun baik dalam masyarakat tradisional maupun
modern agar mampu menciptakan hubungan antarstruktur yang harmonis.
II.
Karakteristik
1)
Free Public
Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam
mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya
yang setara mampu melakukan transaksi – transaksi wacana dan praksis politik
tanpa mengalami distorsi dan kehawatiran. Persyarat ini dikemukakan oleh
Arendit dan Habermal lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis
bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki
akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan
kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat berserikat, berkumpul serta
mempublikasikan informasi kepada publik.
2)
Demokrasi merupakan satu entitas yang menajdi penegak wacana
masyarakat madani, diaman dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki
kebebasan penuh untuk meyakinkan aktifitas kesehariannya, termasuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Demokrasi berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam
pola hubungan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak
mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Prasarat demokratis ini banyak di
kemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan
demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani.
3)
Toleransi meupakan
sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling
menghargai dan menghormati aktivitas yang dikemukakan orang lain. Toleransi ini
memungkinkan akan adanya kesadaran masing – masing individu untuk menghargai
dan menghormati pendapat serta aktifitas yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat yang lain berbeda. Toleransi menurut Nurcholish Madjid merupakan
persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi
menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” anatra berbagai kelompok
yang berbeda – beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau
“manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar. Azyumardi Azra pun menyebutkan
bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan – gerakan
pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke hidupan yang berkualitas dan
tamaadun (civil). Civilitas meniscayakan ideransi, yakni kesediaan individu –
individu untuk menerasi pandangan – pandangan politik dan sikap sosial yang
berbeda.
4)
Pluralisme
merupakan satuan prasarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus
dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatacara kehidupan yang
menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari – hari
pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima
kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang
tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positifdan
merupakan rahmat Tuhan. Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini
merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya
adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaan. Bahkan
pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara
lain melalui mekanisme pengawasan dan pengembangan. Lebih lanjut Nurcholish
mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam
masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang tidak menolitik.
5)
Keadilan sosial merupakan keadilan yang menyebutkan
kesimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap
warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
III.
Faktor
Yang Mempengaruhi
1) Faktor
Ekonomi
2) Faktor
Lingkungan
3) Faktor
Pemerintah
4) Faktor
Masyarakat
5) Faktor
Keluarga
6) Faktor
Individu itu sendiri
IV.
Pertumbuhan
Pemburu dan Peramu. Masyarakat
pemburu dan peramu adalah bentuk masyarakat paling sederhana. Kegiatan mereka
umumnya sekadar berburu hewan (memburu) serta mengumpulkan hasil tanaman
nonbudidaya dengan teknologi berupa peralatan sederhana (meramu). Kendati kini perkembangan
teknologi sudah menciptakan masyarakat posindustri, masyarakat pemburu dan
peramu masih ada di sejumlah wilayah Indonesia. Akibat teknologi diterapkan
hanya mampu mengelola alam secara pasif, sebagian besar kegiatan sosial mereka
habiskan untuk mencari makanan berupa hewan buruan ataupun tanam-tanaman demi
pemenuhan kebutuhan subsisten. Dalam aktivitasnya, masyarakat pemburu dan
peramu bergantung pada keluarga. Ketergantungan berkisar pada distribusi
makanan, perlindungan anggota, dan sosialisasi budaya. Perempuan biasanya
berkegiatan meramu, sementara laki-laki memburu hewan. Umumnya, di masyarakat
pemburu dan peramu terdapat seorang shaman (pemimpin spiritual, dukun) yang
istimewa posisinya. Namun, bahkan shaman pun tetap harus mencari makan untuk
keluarganya, sama seperti anggota masyarakat lain. Sercombe and Sellato
menyebut masih terdapat suku yang masuk kategori masyarakat pemburu-peramu di
Kalimantan, yaitu: Punan Tubu dan Punan Malinau (sebelah utara Kalimantan
Timur); Kayan-Tabang-Segah-Kelai (sebelah tengah-selatan Kalimantan Timur);
Hovongan dan Kereho (perbatasan Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur); Buket
(ujung barat Kalimantan Timur dekat perbatasan dengan Kalimantan Barat); Buket
(ujung timur Kalimantan Barat, dekat perbatasan Kalimantan Timur dan Serawak).
Masyarakat pemburu dan peramu lainnya adalah Orang Rimba di Taman Nasional
Bukit Duabelas, Jambi.
Hortikultural dan Pastoral. Masyarakat
hortikultural menerapkan teknologi peralatan tangan untuk mengkoleksi hasil
pertanian. Masyarakat pastoral menerapkan teknologi domestikasi hewan.
Masyarakat hortikultural dan pastoral masih dapat ditemukan di wilayah Asia,
Amerika Selatan, dan Afrika. Material surplus – jumlah kebutuhan subsisten
lebih besar dari persyaratan hidup – masyarakat hortikultural dan pastoral
berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Tingkat produksi makanan mereka lebih
besar karena teknologi yang mereka terapkan memungkinkan campur tangan manusia
atas produksi tanaman dan hewan. Akibatnya, populasi masyarakat hortikultural
dan pastoral mengalami peningkatan. Masyarakat pastoral hidup nomadik dengan
menggembala ternak, sementara masyarakat hortikultural mulai mendirikan
pemukiman permanen. Mereka baru pindah tatkala tanah tempat tumbuhnya tanaman
tidak lagi subur atau ditemukan tanah garapan baru yang lebih subur dan mampu
menampung jumlah populasi mereka. Saat masyarakat mengalami material
surplus memungkinkan adanya waktu luang (leissure time) bagi sebagian
anggotanya. Waktu luang mendorong munculnya kreativitas teknologi dan mewujud
dalam spesialisasi pekerjaan baru seperti membuat peralatan rumah tangga,
berdagang hewan dan tanaman, membuat rumah, membuat jalan, dan sebagainya.
Teknologi baru bisa ditemukan karena banyak individu yang tidak perlu lagi
terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi subsisten (menyediakan pangan) karena
teknologi sudah dapat membantu penyelesaian pekerjaan. Secara akumulatif,
kemunculan sebuah teknologi baru disusul teknologi lain yang sifatnya lebih
rumit karena sumber daya yang memungkinkan untuk itu tersedia lebih
banyak. Akibat pokok perkembangan teknologi di dalam masyarakat
hortikultural dan pastoral adalah munculnya kelompok yang lebih kaya dan lebih
berkuasa. Ketimpangan sosial mulai muncul. Satu keluarga lebih berpengaruh
ketimbang keluarga lainnya. Satu kelompok lebih mendominasi kelompok lain.
Keluarga atau kelompok tersebut memanfaatkan sumber daya politik dan keamanan
untuk menjamin posisinya. Perbedaannya dengan masyarakat yang lebih kemudian
(masyarakat agraris, nanti dibahas) adalah jangkauan wilayah kekuasaannya yang
relatif kecil karena pertumbuhan populasi masyarakat fase ini yang belum
terlalu signifikan. Pertumbuhan agama juga berbeda di masyarakat hortikultural
dan pastoral. Di masyarakat hortikultural, muncul gagasan satu tuhan tetapi
intervensinya terhadap kehidupan tidak sebesar dalam masyarakat pastoral.
Agraris. Masyarakat
agraris dicirikan kegiatan cocok tanam berskala besar. Cocok tanam skala besar
dimungkinkan akibat ditemukannya teknologi pembantu produksi manusia, semisal
tenaga hewan (sapi untuk menarik bajak, kuda untuk menarik pedati). Masyarakat
ini juga ditengarai telah menemukan teknologi irigasi, teknik baca tulis, dan
penggunaan peralatan yang terbuat dari logam. Lewat bantuan bajak, teknik
irigasi, dan peralatan logam, masyarakat agraris dapat menetap di suatu
wilayah, tidak perlu lagi berpindah layaknya masyarakat hortikultural. Mereka
mampu melakukan refertilization tanah garapan. Populasi masyarakat agraris
semakin menumpuk di suatu wilayah karena lahan tanaman dapat digunakan oleh
beberapa generasi dengan tingkat kesuburan yang berkurang lambat. Produksi
cocok-tanam masyarakat agraris berlipat ganda dibandingkan hortikultural.
Peningkatan material-surplus membuat peningkatan serupa pada jumlah manusia
yang tidak perlu terlibat langsung dalam kegiatan produksi subsisten. Waktu
luang mereka manfaatkan untuk menemukan teknologi baru. Diferensiasi dan
spesialisasi kerja yang lebih rumit ketimbang masyarakat sebelumnya
(hortikultural dan pastoral) jadi tidak terelakkan. Diferensiasi dan
spesialisasi kerja muncul akibat semakin banyak waktu luang yang dimanfaatkan
dalam dalam masyarakat ini. Di dalam masyarakat agraris, jaringan perdagangan
tumbuh lebih pesat, dan uang mulai digunakan sebagai alat tukar. Penemuan
uang mendorong pada meningkatnya ketimpangan sosial. Kelompok kategori ekonomi
mampu memanfaatkan sumber daya ekonomi secara lebih efektif. Mereka muncul
sebagai kelas ekonomi mapan lalu mendominasi kelas lain. Mereka juga punya
waktu luang lebih banyak karena pekerjaan subsisten sudah dilakukan para
subordinatnya: Petani penggarap dan budak. Mereka memperalat uang dan pranata
hukum demi mengamankan keuntungan ekonomi komparatifnya. Ketimpangan sosial
berangsur permanen. Dalam masyarakat agraris, segregasi peran perempuan dan
laki-laki mulai terjadi. Laki-laki menjalankan peran-peran publik pengaturan
masyarakat, sementara perempuan didorong lebih berkonsentrasi pada masalah
domestik (rumah tangga). Indonesia merupakan masyarakat agraris. Luas wilayah
masyarakat ini – daratan dan lautan – mencapai 1.904.569 km2. Dari luas total
tersebut, 24% merupakan daratan. Dari total daratan ini, 67 juta hektar (35%)
digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta hektar (65%)
digunakan untuk areal budidaya, baik untuk pertanian maupun non pertanian.
Sebanyak 53,71 juta hektar lahan dari 123 juta hektar area budidaya digunakan
sebagai lahan pertanian. Dalam konteks ini,
Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris ketika 43,33% (hampir setengah)
luas lahan daratan yang dapat dibudidaya digunakan untuk pertanian. Namun,
masyarakat agraris ini lambat laun mulai tergusur oleh terbentuknya jenis
masyarakat baru yang sudah mulai menggejala: Masyarakat industrial.
Industrial.
Masyarakat industrial adalah masyarakat dengan ciri utama produksi barang –
makanan, pakaian, bahan bangunan – dengan bantuan teknologi mesin yang
digerakkan sumberdaya energi non hewani (sumber daya baru). Penggunaan energi hewan yang marak di tahap masyarakat
agraris berkurang penggunaannya. Teknologi mesin yang operasinya didukung
sumber daya energi baru (bahan bakar fosil), membuat proses produksi jauh lebih
cepat dengan hasil jauh lebih banyak ketimbang yang bisa dilakukan masyarakat
sebelumnya. Material-surplus dalam masyarakat ini terjadi berkali-kali lipat.
Apalagi dengan turut ditemukannya teknologi kereta uap, kapal uap, listrik,
rel-rel besi, juga komunikasi kawat, yang kesemuanya memungkinkan proses
distribusi hasil produksi semakin cepat dan ekstensif. Perluasan pasar dan
pencarian sumber daya mendorong munculnya imperialisme. Imperialisme
memungkinkan pemilik alat produksi dari bangsa imperial mencapai keuntungan
yang semakin besar. Akibatnya, ketimpangan sosial di dalam masyarakat industri
jauh lebih besar dan rumit lagi. Teknologi mobil ditemukan tahun 1900.
Mobil adalah teknologi transportasi dan diproduksi secara massa. Kemampuan
jelajah mobil jauh lebih tinggi ketimbang hewan (unta, kuda, keledai, sapi).
Daya jelajah manusia meningkat dan mendorong banyak daerah baru dibuka, sumberdaya
alam baru dieksploitasi, dan manusia baru ditemukan. Secara global,
kolonialisme dan imperialisme membiak, proses produksi semakin murah dan
kompleksitas sosial dari sentra-sentra produksi merambat ke wilayah non
perkotaan. Percepatan produksi dan interaksi sosial baru, membuat hubungan
antar manusia mulai anonim. Anonimitas kerap membuat orang yang tinggal
bersebelahan tidak mengenal satu sama lain. Kepadatan primordial meningkat
dalam tingkat yang tidak pernah ditemukan dalam masyarakat agraris sebelumnya.
Kepadatan primordial membuat ketegangan antar kelompok – menurut garis budaya,
agama, sosial, kelas – meningkat. Subkultur dan counterculture bermunculan
menantang budaya mainstream. Lembaga-lembaga sosial nonkeluarga mulai mengambil
peran lebih besar dalam sosialisasi budaya, pendidikan, dan pekerjaan individu.
Struktur keluarga berubah, dengan indikasi maraknya perceraian, single-parents,
atau keluarga-keluarga adopsi. Untuk sebagian masyarakat Indonesia,
khususnya di kota-kota besar, masyarakat industrial sudah atau paling tidak
mulai terbentuk. Kendati masih terlokalisir di wilayah sentra pabrik dan
kegiatan perdagangan, masyarakat industrial Indonesia nyata menampakkan
wujudnya. Hingga kini pun telah dilihat, bahwa dalam alur pikir Lenski ternyata
masyarakat Indonesia ditengarai beragam jenis masyarakat, tidak mono
jenis.
Posindustrial. Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan produksi
untuk menghasilkan informasi yang dimungkinkan oleh adanya teknologi komputer. Jika masyarakat industri kegiatannya terpusat pada
pabrik dan mesin penghasil barang material, maka masyarakat posindustri fokus
pada pengelolaan dan manipulasi informasi, yang produksinya bergantung pada
komputer dan peralatan elektronik lain. Teknologi utamanya digunakan untuk
memproduksi, memproses, menyimpan, dan menerapkan informasi. Jika individu
masyarakat industri belajar keahlian teknis, maka individu masyarakat
posindustri mengembangkan kemampuan teknologi informasi menggunakan komputer
dan perangkat teknologi informasi lain sebagai alat bantu kerja. Masyarakat
posindustri cenderung mengembangkan softskill ketimbang hardskill. Percepatan
pekerjaan masyarakat posindustri berkali-kali lipat masyarakat industri. Produksi
barang lewat tenaga manusia dalam masyarakat posindustri lebih sedikit.
Akibatnya, terjadi peralihan besar-besaran tenaga kerja untuk menjalani profesi
guru, penulis, sales, penjual pulsa, operator telepon, operator
foreign-exchange, pialang saham, termasuk bisnis on-line (e-business dan
e-commerce). Industri yang berkembang mengarah pada produksi soft-skill
ketimbang hard-skill. Masyarakat posindustri dihadang oleh kian merenggangnya
kohesi sosial, rumitnya varian kriminalitas, serta rusaknya lingkungan akibat
aktivitas masyarakat sebelumnya (industrial). Kelima masyarakat evolutif
Lenski ada di Indonesia, berkelindan satu sama lain, kendati kuantitas
penganutnya berbeda satu sama lain. Masyarakat pemburu dan peramu hingga kini
masih dapat ditemui di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kendati
jumlahnya kian sedikit, terhimpit proses pembukaan wilayah oleh masyarakat
pendatang, mereka tetap masyarakat Indonesia yang punya hak hidup, bermata
pencaharian, serta mengembangkan kebudayaannya. Masyarakat hortikultural
Indonesia ditandai konsep umum perladangan berpindah. Masyarakat seperti ini
terutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat pastoral
terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah Indonesia yang punya padang rumput
yang luas guna mempraktekkan kehidupan menggembala. Masyarakat agraris
(termasuk nelayan) masih merupakan elemen terbesar masyarakat Indonesia dan ini
ditandai masih adanya Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan
Perikanan, kendati ditandai perhatian mereka yang setengah hati. Masyarakat
industrial menempati ruang hidup di kota-kota besar. Masyarakat Posindustrial
menggejala di kota-kota industri Indonesia, yang kendati kuantitas definitifnya
sulit diprediksi, tetapi dipastikan meningkat seiring mewabahnya penggunaan
teknologi virtual communication, data digital, telepon seluler, dan didukung
pengembangan backbone-backbone kabel internet yang massif. Dalam konteks
Indonesia aneka masyarakat ala Lenski, tidak jelas garis yuridiksinya.
Masyarakat tersebut saling berkelindan, jenis yang satu ada bercampur di sisi
jenis lainnya. Namun, karakteristik mereka yang cukup berlainan menghendaki
penyikapan yang berbeda. Dalam konteks perbedaan ini negara hadir sebagai
regulator dan antisipator masalah.
V.
Masalah
– Masalah
Menurut perspektif ini,
sejarah masyarakat ditandai pertentangan kelas. Klasifikasi Lenski atas keenam
jenis masyarakat yang didasarkan pengaruh teknologi (material) atas cara
produksi, membuat analisis masyarakat lewat perspektif konflik lebih mudah
dipahami. Marx adalah teoretisi konflik paling terkemuka, dan bahkan sejak awal
telah meringkas perubahan masyarakat versi Lenski ke dalam konsepnya:
Materialisme historis. Konsep ini menjelaskan bahwa sejarah masyarakat tidak
lain tersusun berdasarkan cara-cara produksi material. Materialisme historis
beroperasi dalam kaidah materialisme dialektis. Materialisme dialektis
menyatakan bahwa setiap cara produksi di setiap tahapan perkembangan masyarakat
menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang saling bertentangan. Masyarakat
baru kemudian muncul sebagai buah pertentangan antar struktur masyarakat
lama.
Cara produksi memburu hewan dan mengumpulkan
tanaman menciptakan masyarakat pemburu dan peramu, yang menciptakan kelas tetua
suku dan anggota suku. Cara produksi cocok tanam dan domestikasi hewan
menciptakan masyarakat hortikultural dan pastoral, yang menciptakan kelas tuan
dan budak. Cara produksi pertanian menetap memunculkan masyarakat agraris, yang
menciptakan kelas tuan feodal dan penggarap. Cara produksi menggunakan mesin dan
buruh yang mengoperasikannya memunculkan masyarakat industrial, yang
menciptakan kelas borjuis (juga kapitalis) dan proletar. Cara produksi
menggunakan komputer dalam mengolah informasi menciptakan masyarakat
posindustrial, yang menciptakan kelas produsen dan konsumen informasi. Menurut
Marx, periode masyarakat yang berbeda tersebut ditandai satu kesamaan: Struktur
kelas yang terbentuk adalah cermin cara produksi yang berlaku, dalam mana
masing-masingnya bertentangan satu sama lain secara diametral dalam konflik
abadi. Bagi Marx, kelestarian konflik hanya akan ada selama masyarakat komunis
yang egaliter belum tercipta.
Akibat perbedaan penikmatan keuntungan hasil
produksi dan waktu luang yang dimiliki, satu kelas selalu lebih beruntung
ketimbang kelas lain. Hal ini membuat struktur sosial senantiasa timpang.
Ketimpangan sosial ini bersifat permanen di setiap masyarakat sekaligus
merupakan inti pendekatan konflik yang digagas oleh Marx. Ketimpangan sosial
senantiasa membuat hubungan antar kelas ekonomi berada dalam ketegangan. Dua
kelas selalu berhadapan secara diametral.
Bagi Marx, bukan gagasan yang menciptakan
masyarakat melainkan cara-cara produksi material-lah yang menciptakan gagasan.
Justru cara-cara produksi-lah yang menciptakan aneka gagasan manusia seputar
masyarakat. Inilah penjelasan singkat mengenai materialisme historis. Karena
Marx menggunakan cara produksi ekonomi sebagai monofaktor kekuatan penggerak
perubahan masyarakat maka ia dikenal menganut determinisme ekonomi.
Marx lalu membelah struktur masyarakat menjadi
dua: Infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur merupakan basis (dasar)
suatu masyarakat yaitu cara produksi di bidang ekonomi. Suprastruktur terdiri
atas: (1) Lembaga sosial dan (2) Gagasan dan nilai. Infrastruktur adalah fundamen
yang membentuk suprastruktur.
Cara produksi ekonomi memunculkan aneka
institusi sosial seperti politik, agama, pendidikan, atau keluarga.
Institusi-institusi tersebut lalu mengembangkan gagasan dan nilai-nilai aktual
yang berlaku di tengah masyarakat. Menurut Marx, gagasan dan nilai-nilai dalam
suatu masyarakat hanya dibuat oleh kelas dominan dalam cara produksi. Hanya
mereka yang sempat merancang hukum dan aneka peraturan karena waktu luang yang
mereka miliki lebih banyak. Akibatnya, gagasan serta nilai apapun yang muncul
melulu merupakan instrumen guna memelihara status quo. Di dalam masyarakat
industrial, kelas tersebut adalah kapitalis. Kelas ini sengaja menciptakan
aneka institusi sosial, gagasan, agama, dan nilai-nilai masyarakat guna
mempertahankan ketimpangan struktur sosial yang ada agar dominasi kelas tetap
terpelihara. Bahkan, menurut Marx, negara pun tidak lain merupakan instrumen
kelas borjuis dan kapitalis untuk memastikan kepatuhan kelas proletar agar
terus bekerja sesuai kepentingan mereka.
Telah dipaparkan bahwa suprastruktur yang
terdiri atas intitusi sosial, gagasan, serta nilai hanya beroperasi (atau
tercipta) guna mendukung cara produksi ekonomi yang ada. Dengan demikian,
suprastruktur tidak lain merupakan cerminan dari infrastruktur. Jika
infrastruktur mengandung hubungan sosial antarkelas yang konfliktual, maka
suprastruktur sekadar merupakan instrumen demi melestarikan posisi keberuntungan
kelas dominan dan mempertahankan hubungan konfliktual tersebut. Perubahan
masyarakat atau perombakan suprastruktur hanya mungkin jika infrastruktur
direvolusi.
Marx hidup di dalam masyarakat industrial yang
tengah berkembang. Dalam masyarakat ini, menurut Marx, terdapat dua kelas utama
yaitu kelas yang berkuasa (kapitalis, pemilik alat produksi) dan kelas yang
teropresi (proletar, tidak punya alat produksi, pekerja/buruh). Kelas terakhir
sekadar menjual tenaga kepada kelas pertama. Marx mempersamakan hubungan
kapitalis-protelar era industrial serupa dengan tuan-budak di zaman kuno
ataupun tuan tanah feodal-penggarap di era agraris. Kapitalis memperlakukan
proletar tidak lebih sebagai alat produksi. Hubungan konfliktual antara
kapitalis-proletar bersumber pada penguasaan alokasi kekuasaan dan
kesejahteraan hanya di satu kelas. Hubungan yang mungkin hanyalah satu kelas
mempertahankan, kelas lain berupaya merebutnya.
Situasi konfliktual ditandai pula peran uang
yang telah muncul sebelumnya. Secara pesimis, Marx melihat uang sebagai tanda
keterasingan manusia dari lingkungannya. Saat uang belum ditemukan, kepemilikan
ditandai benda-benda riil misalnya ternak, gandum, gerobak, yang menunjukkan
hubungan langsung manusia dengan alam. Saat uang ditemukan, ternak dikonversi
menjadi uang, gandum dikonversi menjadi uang, dan gerobak dikonversi menjadi
uang. Manusia tidak lagi berhubungan dengan benda-benda riil (alamiah)
melainkan lewat simbol-nya: Uang. Manusia dijauhkan dan menjadi terasing dari
alam. Konversi benda riil menjadi uang menambah peluang akumulasi kekayaan
secara lebih timpang. Apa yang diwakili uang tidak lagi tepat melukiskan
kondisi riil benda alamiah. Dalam kasus upah pekerja misalnya, kapitalis
memberikannya dalam nilai uang yang ketika dikonversi pekerja menjadi benda
alamiah (sembako misalnya) ternyata tidak cukup guna menghidupi diri dan
keluarganya. Selain uang, sebagai penyebab keterasingan manusia, Marx juga
merinci keterasingan (alienasi) lain dalam masyarakat industrial, yaitu:
1.
Alienasi dari tindakan bekerja. Ideal Marx
adalah, dalam bekerja orang bisa memenuhi kebutuhan sekaligus mengembangkan
potensi individualitas. Namun, dalam pola kerja pabrik pekerja tidak
menghasilkan barang dan skill yang dibutuhkan untuk bekerja sehingga menyebabkan
kemampuan kreatifnya stagnan.
2.
Alienasi dari hasil pekerjaan. Produk yang
dihasilkan pekerja bukan milik si pekerja melainkan milik si kapitalis. Produk
tersebut dijual oleh kapitalis demi profit. Bagi Marx, semakin banyak si
pekerja menginvestasikan tenaganya dalam proses produksi, sesungguhnya ia
semakin banyak kehilangan hasilnya. Marx merinci kondisi ini dengan teorinya
tentang nilai lebih (surplus value).
3.
Alienasi dari pekerja lain. Lewat tindakan
bekerja, bagi Marx, orang seharusnya mampu membangun ikatan sosial dalam
komunitas. Dalam masyarakat industrial, pekerja satu dengan pekerja lain justru
malah terpisah dan diperparah oleh pola hubungan sosial yang kompetitif
sehingga kesempatan membangun ikatan komunitas menjadi kecil atau cenderung
tidak ada.
4.
Alienasi dari potensi kemanusiaan. Masyarakat
industrial ibarat mesin. Pekerja baru merasakan kedirian manusianya kala jam
istirahat saja.
VI.
Hubungan
antara Individu, Keluarga, Masyarakat
Manusia adalah sebagai makhluk individu dalam arti tidak dapat di
pisahkan antara jiwa dan raganya, oleh karena itu dalam proses perkembangannya
perlu keterpaduan antara perkembangan jasmani maupun rohaninya.
Sebagai makhluk sosial
seorang individu tidak dapat berdiri sendiri, saling membutuhkan antara yang
satu dengan yang lainnya, dan saling mengadakan hubungan sosial di
tengah–tengah masyarakat.
Keluarga dengan berbagai fungsi yang dijalankan adalah sebagai wahana dimana seorang individu mengalami proses sosialisasi yang pertama kali, sangat penting artinya dalam mengarahkan terbentuknya individu menjadi seorang yang berpribadi.
Keluarga dengan berbagai fungsi yang dijalankan adalah sebagai wahana dimana seorang individu mengalami proses sosialisasi yang pertama kali, sangat penting artinya dalam mengarahkan terbentuknya individu menjadi seorang yang berpribadi.
Sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan masyarakat, keluarga mempunyai korelasi fungsional dengan
masyarakat tertentu, oleh karena itu dalam proses pengembangan individu menjadi
seorang yang berpribadi hendaknya diarahkan sesuai dengan struktur masyarakat
yang ada, sehingga seorang individu menjadi seorang yang dewasa dalam
arti mampu mengendalikan diri dan melakukan hubungan – hubungan sosial di dalam
masyarakat yang cukup majemuk.
Masyarakat adalah
kelompok manusia yang saling berinteraksi yang memiliki prasarana untuk
kegiatan tersebut dan adanya saling keterikatan untuk mencapai tujuan bersama.
Masyarakat adalah tempat kita bisa melihat dengan jelas proyeksi individu sebagai
bagian keluarga, keluarga sebagai tempat terprosesnya, dan masyarakat adalah
tempat kita melihat hasil dari proyeksi tersebut.
Individu yang berada
dalam masyarakat tertentu berarti ia berada pada suatu konteks budaya tertentu.
Pada tahap inilah arti keunikan individu itu menjadi jelas dan bermakna,
artinya akan dengan mudah dirumuskan gejala – gejalanya. Karena di sini akan
terlibat individu sebagai perwujudan dirinya sendiri dan merupakan makhluk
sosial sebagai perwujudan anggota kelompok atau anggota masyarakat.
VII.
Daftar
Pustaka
No comments:
Post a Comment