I.
Ilmu
Pengetahuan Zaman Purba
Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani
kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman
kontemporer. Periodeisasi ini mengandung tiga kemungkinan. Pertama, menafikan
adanya pengetahuan yang tersistem sebelum zaman Yunani kuno. Kedua, tidak
adanya data historis tentang adanya ilmu sebelum zaman Yunani kuno yang sampai
pada kita. Ketiga, Bakhtiar sengaja tidak mengungkapnya dalam bukunya. Jika
kemungkinan pertama yang terjadi, maka informasi dari teks-teks agama tentang
nama-nama yang Adam ketahui, misalnya, tidak termasuk ilmu tetapi hanya
pengetahuan belaka. Jika kemungkinan kedua yang benar, maka bukan berarti
pengetahuan yang tersistem hanya ditemukan dan dimulai pada zaman Yunani kuno,
tetapi ia sudah ada sebelumnya hanya saja informasinya tidak sampai pada kita.
Jika kemungkinan ketiga yang berlaku, maka penulis perlu mengungkapnya meski
hanya sekilas karena keterbatasan referensi yang ada pada penulis.
Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat disusur
sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia purba telah
menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka
untuk mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal juga dengan masa
pra-sejarah. Menurut Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, masa sejarah dimulai
kurang lebih 15.000 sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini pengetahuan
manusia berkembang lebih maju. Mereka telah mengenal membaca, menulis, dan
berhitung. Kebudayaan mereka pun mulai berkembang di berbagai tempat tertentu,
yaitu Mesir di Afrika, Sumeria, Babilonia, Niniveh, dan Tiongkok di Asia, Maya
dan Inca di Amerika Tengah. Mereka sudah bisa menghitung dan mengenal angka.
Meski agak berbeda dengan pendapat tersebut, Muhammad Husain Haekal (1888-1956)
berpendapat lebih spesifik bahwa sumber peradaban sejak lebih dari enam ribu
tahun yang lalu (berarti sekitar 4000 SM) adalah Mesir. Zaman sebelum itu
dimasukkan orang ke dalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu, sukar sekali
akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Terlepas dari perbedaan pendapat
mengenai permulaan zaman pra-sejarah dan zaman sejarah, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ilmu lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi hanya
saja penamaan ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Penekanan terhadap
kegunaan dan aplikasi cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya. Teori
ini berlaku secara umum terhadap beberapa – untuk tidak dikatakan semua–
disiplin ilmu dari generasi ke generasi. Berbekal otak, pengalaman, dan
pengamatan terhadap gejala-gejala alam, manusia purba sudah barang tentu
memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi
kehidupan. Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin tersusun
rapi karena inilah karakteristik dasar ilmu. Jika kita menafikan adanya ilmu
tertentu yang mereka miliki, maka kita akan sulit menjawab pertanyaan:
mungkinkah mereka bisa bertahan hidup bertahun-tahun tanpa bekal apapun?
Selanjutnya Mouly menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai berikut: Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak seinsentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif pengalaman-pengalaman manusia.
Selanjutnya Mouly menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai berikut: Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak seinsentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif pengalaman-pengalaman manusia.
Peradaban Mesir kuno, misalnya, mewariskan
peninggalan-peninggalan bermutu tinggi seperti piramida, kuil, dan sistem
penatanan kota. Peninggalan-peninggalan ini tidak mungkin ada tanpa adanya ilmu
yang mereka miliki. Proses pembangunan piramida yang menjulang tinggi dan
tersusun dari batu-batu besar pilihan tak bisa lepas dari matematika dan
arsitektur. Begitu pula dengan proses pembangunan kuil megah mereka. Sementara
itu, sistem penataan kota membutuhkan arsitektur dan administrasi pemerintahan.
Dengan kata lain, peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut menunjukkan
adanya ilmu-ilmu tertentu yang mereka miliki sehingga mereka bisa mewujudkan
impian mereka menjadi kenyataan. Menurut Haekal, Mesir adalah pusat yang paling
menonjol membawa peradaban pertama ke Yunani atau Rumawi.
Sementara itu, menurut Betrand Russell, pada masa
Babilonia lahir beberapa hal yang tergolong ilmu pengetahuan: pembagian hari
menjadi dua puluh empat jam, lingkaran menjadi 360 derajat, penemuan siklus
gerhana yang memungkinkan terjadinya gerhana bulan bisa diramal dengan tepat
dan gerhana matahari dengan beberapa perkiraan. Pengetahuan bangsa Babilonia
ini sampai ke tangan Thales , filosof Yunani.
II.
Ilmu
Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat. Ketika kata
Yunani disebutkan, maka yang terbesit di pikiran para peminat kajian keilmuan
bisa dipastikan adalah filsafat. Padahal filsafat dalam pengertian yang
sederhana sudah ada jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan
mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat
berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya.
Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa
hingga sekarang. Sehingga wajar saja bila generasi-generasi setelahnya merasa
berhutang budi padanya, termasuk juga umat Islam pada abad pertengahan masehi
bahkan hingga sekarang. Tanpa mengkaji dan mengembangkan warisan filsafat
Yunani rasanya sulit bagi umat Islam kala itu merengkuh zaman keemasannya.
Begitu juga orang Barat tanpa mengkaji pengembangan filsafat Yunani yang
dikembangkan oleh umat Islam rasanya sulit bagi mereka membangun kembali
peradaban mereka yang pernah mengalami masa-masa kegelapan menjadi sangat maju
dan mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya seperti sekarang ini.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting
dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola
pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Dari proses inilah kemudian
ilmu berkembang dari rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk
teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri
poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia
menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam
jagad raya.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam
adalah Thales (624-546 SM), setelah itu Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos
(540-480 SM), Parmenides (515-440 SM), dan Phytagoras (580-500). Thales, yang
dijuluki bapak filsafat, berpendapat bahwa asal alam adalah air. Menurut
Anaximandros substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi
segalanya yang dinamakan apeiron, bukan air atau tanah. Heraklitos melihat alam
semesta selalu dalam keadaan berubah. Baginya yang mendasar dalam alam semesta
adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak
belakang dengan Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan
keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras
berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi
ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak
terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu
pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini
sangat bergantung pada pendekatan matematika. Jadi setiap filosof mempunyai
pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta. Perbedaan pandangan bukan
selalu berarti negatif, tetapi justeru merupakan kekayaan khazanah keilmuan.
Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian muncul beberapa filosof Sofis
sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan mereka terhadap jawaban dari para filosof
alam dan mengalihkan penelitian mereka dari alam ke manusia. Bagi mereka,
manusia adalah ukuran kebenaran sebagaimana diungkapkan oleh Protagoras
(481-411 SM), tokoh utama mereka. Pandangan ini merupakan cikal bakal
humanisme. Menurutnya, kebenaran bersifat subyektif dan relatif. Akibatnya,
tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama.
Bahkan dia tidak menganggap teori matematika mempunyai kebenaran absolut.
Selain Protagoras ada Gorgias (483-375 SM). Menurutnya, penginderaan tidak
dapat dipercaya. Ia adalah sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita
tentang alam semesta karena akal kita telah diperdaya oleh dilema
subyektifitas. Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena mereka
membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka tidak memberikan jawaban final
tentang etika, agama, dan metafisika.
Pandangan para filosof Sofis tersebut disanggah oleh para
filosof setelahnya seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan
Aristoteles (384-322 SM). Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang
bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran obyektif itu
dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan dijalankan melalui
percakapan-percakapan. Menurutnya, kebenaran universal dapat ditemukan. Bagi
Plato, esensi mempunyai realitas yang ada di alam idea. Kebenaran umum ada
bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Filsafat Yunani klasik
mengalami puncaknya di tangan Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali
membagi filsafat pada hal yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan
praktis (etika, ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah yang menjadi
pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Dia dianggap sebagai bapak ilmu
karena mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. Karena
demikian meresapnya serta lamanya pengaruh ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles,
A.N. Whitehead memberikan catatan bahwa segenap filsafat sesudah masa hidup
keduanya sesungguhnya merupakan usulan-usulan belaka terhadap ajaran-ajaran
mereka. Pendapat Whitehead tidak seluruhnya benar karena umat Islam, misalnya,
selain mengembangkan filsafat mereka, mereka juga melakukan inovasi di beberapa
persoalan filsafat Yunani sehingga memiliki karakteristik islami.
III.
Ilmu Pengetahuan
Zaman Islam Klasik
Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis,
fiqih, usul fiqih, dan teologi sudah berkembang sejak masa-masa awal Islam
hingga sekarang. Khusus dalam bidang teologi, Muktazilah dianggap sebagai
pembawa pemikiran-pemikiran rasional. Menurut Harun Nasution, pemikiran
rasional berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Pemikiran ini
dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti
yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi
yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di
kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti
Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci
bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad
ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat
belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian
dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke
Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di Jundisyapur, pusat belajar yang paling
penting, melahirkan dokter-dokter istana Hārūn al-Rashīd dan penggantinya
sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak semacam ini, para khalifah dan
para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa yang harus dipelajari dari ilmu
pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan agar menerjemahkan sejumlah buku
penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan pada
abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan
al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt al-Ḥikmah, sebuah lembaga khusus
penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat banjir penerjemahan
besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad kesembilan dan
sebagian besar abad kesepuluh.
Buku-buku matematika dan astronomi adalah
buku-buku yang pertama kali diterjemahkan. Al-Khawārizmī (Algorismus atau
Alghoarismus) merupakan tokoh penting dalam bidang matematika dan astronomi.
Istilah teknis algorisme diambil dari namanya. Dia memberi landasan untuk
aljabar. Istilah “algebra” diambil dari judul karyanya. Karya-karyanya adalah
rintisan pertama dalam bidang aritmatika yang menggunakan cara penulisan
desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab. Al-Khawārizmī dan
para penerusnya menghasilkan metode-metode untuk menjalankan operasi-operasi
matematika yang secara aritmatis mengandung berbagai kerumitan, misalnya
mendapatkan akar kuadrat dari satu angka. Di antara ahli matematika yang
karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah al-Nayrīzī atau
Anaritius (w. 922 M) dan Ibn al-Haytham atau Alhazen (w. 1039 M). Ibn
al-Haytham menentang teori Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan bahwa sinar
visual memancar dari mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan
kebalikannya bahwa cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di bidang
astronomi, al-Battānī (Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang
luar biasa akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan observasi-observasinya
tentang gerhana telah digunakan untuk tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun
1749 M. Selain al-Battānī, ada Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī
(Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ dikenal karena karyanya di bidang trigonometri
sperik. Di bidang astronomi dan matematika, ada juga Maslamah al-Majrīṭī (w.
1007 M), Ibn al-Samḥ, dan Ibn al-Ṣaffār. Ibn Abī al-Rijāl (Abenragel) di bidang
astrologi.
Dalam bidang kedokteran ada Abū Bakar
Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī atau Rhazes (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932
M) , Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M),
Abū al-Qāsim al-Zahrāwī (Abulcasis), dan Ibn Ẓuhr atau Avenzoar (w. 1161 M).
Al-Ḥāwī karya al-Rāzī merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh
perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia
menyertakan pandangan-pandangan dari para pengarang Yunani, Syiria, India,
Persia, dan Arab, dan kemudian menambah catatan hasil observasi klinisnya
sendiri dan menyatakan pendapat finalnya. Buku Canon of Medicine karya Ibnu
Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 M dan terus
mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa setidak-setidaknya sampai akhir abad
ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū al-Qāsim al-Zahrāwī tentang pembedahan
(operasi) dan alat-alatnya merupakan sumbangan yang berharga dalam bidang
kedokteran.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan
al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan metode-metode
pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata
untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa
orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī
mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan
tinggi.
Dalam bidang botani, zoologi, mineralogi, karya orang
Arab mencakup gambaran dan daftar berbagai macam tanaman, binatang, dan batuan.
Beberapa di antaranya memiliki kegunaan praktis, yakni ketika karya tersebut
dihubungkan dengan bidang farmakologi dan perawatan medis.
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas,
sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī,
al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī (w. 1111
M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w. 1185 M),
dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī
berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat
dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di
antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī. Al-Kindī sangat
ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa
Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks
yang menolak pengetahuan asing. Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih
terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam
dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa
sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian
besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan
disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama
adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn
Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai
membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya
yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.
IV.
Ilmu
Pengetahuan Zaman Renaisans dan Modern
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang
pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan biasanya
menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad
ke-15 dan ke-16. Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad
pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern. Bisa dikatakan abad pertengahan
berakhir tatkala datangnya zaman renaisans. Sebagian orang menganggap bahwa
zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans. Renaisans adalah periode
perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan
sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan
kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama
renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan
rasionalisme. Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara
Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.
Tokoh penemu di bidang sains pada masa
renaisans (abad 15-16 M): Nicolaus Copernicus (1473-1543 M), Johanes Kepler
(1571-1630 M), Galileo Galilei (1564-1643 M), dan Francis Bacon (1561-1626 M).
Copernicus menemukan teori heliosentrisme, yaitu matahari adalah pusat jagad
raya, bukan bumi sebagaimana teori geosentrisme yang dikemukakan oleh Ptolomeus
(127-151). Menurutnya, bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran
sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari. Teori ini
melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta, terutama astronomi. Kepler
adalah ahli astronomi Jerman yang terpengaruh ajaran Copernicus. Dialah yang
menemukan bahwa orbit planet berbentuk elips; bahwa planet bergerak cepat bila
berada di dekat matahari dan lambat bila jauh darinya. Galileo adalah ahli
astronomi Italia yang melakukan pengamatan teleskopik dan mengukuhkan gagasan
Copernicus bahwa tata surya berpusat pada matahari. Inkuisi takut akan
penemuannya dan memaksanya meninggalkan studi astronominya. Dia juga berjasa
dalam menetapkan hukum lintasan peluru, gerak, dan percepatan. Dialah penemu
planet Jupiter yang dikelilingi oleh empat buah bulan.
Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains pada zaman
modern (abad 17-19 M): Sir Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M),
Joseph Black (1728-1799 M), Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent
Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J. Thompson. Newton adalah penemu teori
gravitasi, perhitungan calculus, dan optika yang mendasari ilmu alam. Pada masa
Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika, fisika, dan astronomi. Pada
periode selanjutnya ilmu kimia menjadi kajian yang amat menarik. Black adalah pelopor
dalam pemeriksaan kualitatif dan penemu gas CO2. Prestley menemukan sembilan
macam hawa No dan oksigen yang antara lain dapat dihasilkan oleh tanaman.
Lavoiser adalah peletak dasar ilmu kimia sebagaimana kita kenal sekarang. J.J.
Thompson menemukan elektron. Dengan penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan
bahwa atom adalah bahan terkecil dan mulailah ilmu baru dalam kerangka
kimia-fisika yaitu fisika nuklir. Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah
melahirkan ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara
pada abad ke-19 lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi,
arkeologi, dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern
memengaruhi perkembangan ilmu zaman kontemporer.
V.
Ilmu
Pengetahuan Zaman Kontemporer
Perbedaan antara zaman modern dengan zaman
kontemporer yaitu zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak
sekitar abad ke-15, sedangkan zaman kontemporer adalah era perkembangan
terakhir yang terjadi hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman ini meliputi
hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu eksakta
seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi
rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi. Zaman kontemporer identik dengan
rekonstruksi, dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang.
Sasaran rekonstruksi dan dekonstruksi
biasanya teori-teori ilmu sosial, eksakta, dan filsafat yang ada sudah ada
sebelumnya, sementara inovasi-inovasi teknologi semakin hari semakin cepat
seperti yang kita saksikan dan nikmati sekarang ini. Teknologi merupakan buah
dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke generasi.
Komputer merupakan hasil pengembangan dari perkembangan listrik (elektronika)
yang pada awal penemuannya oleh Faraday belum diketahui kegunaannya. Penemuan
bola lampu oleh Edison disusul oleh penemuan radio, televisi, dan komputer. Dari
komputer berkembang ke PC (private computer), lap top, dan terakhir simuter
yaitu komputer jenis PDA (personal digital assistans). Semua contoh ini
merupakan bukti bahwa penemuan teknologi sebagai buah perkembangan ilmu masih
berkaitan dengan penemuan-penemuan sebelumnya yang kemudian dikembangkan dengan
ukuran fisik yang semakin kecil, tetapi memiliki beragam keunggulan yang lebih
besar.
Salah satu hasil teknologi yang menakjubkan
dan kontroversial adalah teknologi rekayasa genetika yang berupa teknologi
kloning. Dr. Gurdon dari Universitas Cambridge adalah orang pertama yang
melakukan teknologi ini pada tahun 1961. Gurdon berhasil memanipulasi
telur-telur katak sehingga tumbuh menjadi kecebong kloning. Pada tahun 1993,
Dr. Jerry Hall berhasil mengkloning embrio manusia dengan teknik pembelahan.
Pada tahun 1997, Dr. Ian Wilmut berhasil melakukan kloning mamalia pertama
dengan kelahiran domba yang diberi nama Dolly. Pada tahun yang sama lahir lembu
kloning pertama yang diberi mana Gene. Pada tahun 1998, para peneliti di
Universitas Hawai yang dipimpin oleh Dr. Teruhiko Wakayama berhasil melakukan
kloning terhadap tikus hingga lebih dari lima generasi. Pada tahun 2000, Prof.
Gerald Schatten berhasil membuat kera kloning yang diberi nama Tetra. Setelah
berbagai keberhasilan teknik kloning yang pernah dilakukan, para ahli malah
lebih berencana menerapkan teknik kloning pada manusia.
Sumber Pustaka:
No comments:
Post a Comment